Tahun lalu juga, aku baru resmi menjadi seorang mahasiswa.
Saat kejadian hebat itu, aku tidak bersama mereka, tapi bukan berarti aku tidak
membela, karena doaku selalu menyertai mereka, karena dalam doa, aku selalu mengharapkan
yang terbaik untuk Indonesia.
Sore itu, awan biru itu tercampur dengan asap abu-abu. Aku
yang baru pulang kuliah dengan sangat jelas melihat itu. Kendaraan umum
terhalang, lalu menurunkan para penumpang, aku yang termasuk di dalamnya pun
ikut turun mau tidak mau. Halte sesak, semua ingin segera sampai rumah, tapi
kendaraan umum sangat terbatas. Aku yang memilih bernapas lega akhirnya keluar
dari halte itu, di luar halte aku melihat sahabat-sahabatku saling rangkul dan
berlari menuju tempat aman. Masyarakat yang melihat ada yang bertepuk tangan
dan ada juga yang menempuk jidatnya.
Aku memantau aplikasi dan melihat kendaraan umum yang sangat
sedikit lalu mulai menggelengkan kepala. Napas yang sesak dan tubuh yang
berdesak harus aku lalui jika ingin segera sampai rumah, ah, aku mulai merasa
takut saat itu.
Datang bis yang menuju arah pulang. Bis itu mungkin melebihi
kapasitas, namun apa boleh buat, semua orang ingin segera pulang, bahkan yang
sedang berjuang pun merasakan hal yang sama. Pintu bis dibiarkan terbuka agar kita semua
yang di dalam bisa bernapas lega. Aku berdiri tepat di depan pintu terbuka,
melihat langsung mereka yang sedang berusaha menyuarakan hak kita. Mataku tidak
bisa berkedip, aku mulai merasa takut lagi.
Bis berputar mencari jalan aman. Para penumpang yang berdiri
mulai lelah. Tapi tidak dengan dia yang memakai batik dan berdiri tepat di
sampingku di depan pintu itu. Di dalam bis ada suara yang bersaut-sautan, ada
yang senang dengan kejadian ini dan ada yang kesal dengan kejadian ini. Ya,
wajar, semua berhak berpendapat. Ada juga suara yang muncul dari balik
gawai-ku, suara-suara kekhawatiran di antara sahabat-sahabatku. Yang di rumah
merasakan kekhawatiran yang sama ketika melihat pesan di ruang obrolan,
mendapat kabar ada yang hilang, ada yang terpencar, ada yang pingsan, ada yang
lapar, ada yang kesakitan dan masih banyak lagi. Di ruang obrolan semua saling
beri doa dan saling beri semangat.
Terdengar suara yang membuatku memalingkan mata ini dari
gawai, ada yang bilang,
"Siapa sih mereka, bikin pulang jadi telat saja."
"Mereka mahasiswa pak, sahabat-sahabat saya!"
Ada rasa bangga, rasa salut, rasa senang ketika mengatakan
itu. Walau tidak bersama, tapi semangatku selalu menyertai mereka.
Lekas sembuh Indonesia, lekas sembuh alam semesta!
Bekasi, 25 September 2020
0 comments:
Posting Komentar