Perihal Mendengar


Jam menunjukkan pukul 22.18 saat aku menulis tulisan ini. Sedari tadi, aku duduk di samping kakekku yang sedang tertidur pulas di atas kasur rumah sakit. Baru beberapa jam yang lalu aku diberitahu bahwa dia mengidap demensia, atau apa itu, aku juga kurang paham. Yang jelas, ibuku berkata bahwa kakekku lupa dengan kejadian di masa sekarang, dan lebih mengingat kejadian di masa lampau. Mendengar itu membuatku menjadi mengerti, mengapa selama ini dia selalu bercerita tentang masa lalunya.
Baru beberapa menit yang lalu dia kembali bercerita tentang masa lalunya, yang bahkan aku sendiri sudah khatam dengannya. Tapi ada satu hal yang baru aku sadari, senyumnya. Setiap kali dia bercerita, selalu ada senyum yang terlukis di wajahnya, seolah-olah dia sangat senang ketika aku mendengarkan ceritanya.
Setiap kali dia cerita, memang aku selalu antusias mendengarkannya, walau seperti yang sudah kubilang, aku sudah khatam dengan cerita-ceritanya. Sebenarnya, jujur, aku terkadang bosan dengan ceritanya. Tapi melihatnya tersenyum, aku berusaha untuk selalu antusias mendengarkannya.
Dari sana aku paham, bahwa terkadang ada manusia yang hanya ingin didengar ceritanya, tanpa harus ditanggapi, tanpa harus dinasihati. Karena mungkin ketika kita mendengar ceritanya, dia merasa seperti memiliki tempat berlabuh, memiliki tempat mengeluh, tanpa harus dikomentari ini dan itu.
Jadi, jika ada seseorang yang ingin menumpahkan ceritanya kepada kalian, coba biarkan ceritanya mengalir, biarkan kesedihannya mengalir, biarkan segala sesuatu yang sudah lama dia pendam mengalir, agar hatinya lega, agar hatinya bisa kembali bekerja dengan semestinya. Karena selayaknya tubuh yang bisa lelah, hati pun juga sama, perlu diberi kesempatan untuk sekadar membuang beban yang sudah lama menumpuk dalam dada, mungkin salah satunya dengan bercerita.

Bekasi, 27 Oktober 2019

0 comments:

Posting Komentar